Ramadan adalah masa lapak-lapak kolak menenggak cuan. Meski bisa dinikmati sepanjang tahun, tapi kolak dan Ramadan memang bak kembar siam, selalu ‘berpasangan’.

Sejatinya, sama seperti makanan lain, kolak ‘tak punya agama’. Artinya, kolak, meski muncul saban bulan puasa, semua orang boleh makan kolak tanpa memandang agama.

Hanya saja, merunut sejarahnya, kolak memang punya hubungan yang erat dengan ke-Islam-an.

Sejarawan kuliner dari Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman mengungkap kolak dan peradaban Islam di Indonesia memang saling bersinggungan. Meskipun tak terdapat catatan historis yang menyebut langsung, kolak dipercaya pernah jadi salah satu medium dakwah para wali saat menyebarkan Islam di Nusantara.

“Memang secara tertulis informasinya tidak ada. Tapi secara lisan masyarakat itu mengarahkan bahwa kolak jadi salah satu medium atau alat dakwah yang dilakukan sunan di masa lalu,” kata Fadly kepada CNNIndonesia.com.

Di masa lalu para wali atau sunan kerap memanfaatkan berbagai medium dalam menyebarkan Islam, salah satunya melalui makanan.

Makanan jadi metode dakwah yang efektif lantaran memiliki faktor kedekatan dengan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

“Dari sinilah muncul kolak. Para wali memanfaatkan bahan-bahan dari masyarakat, diolah jadi sesuatu yang manis, enak dan disebarkan bahwa ini adalah sajian khas Ramadan. Cocok dimakan sebagai substitusi kurma yang pada masa itu jarang atau tidak ada sama sekali,” katanya.

Dari mana asalnya?

Kolak adalah makanan khas Indonesia yang konon muncul di masa peralihan dan penyebaran agama Islam. Makanan atau mungkin minuman ini pun mulai muncul di tanah Jawa di masa itu.

Banyak yang berpikir kalau kolak berasal dari Mekah atau Timur Tengah. Namun Fadly dengan tegas membantahnya. Kolak adalah murni makanan asli dan tradisional dari Indonesia.

“Di sana (Arab Saudi atau Mekah) tidak ada makanan kolak seperti di kita. Kolak ya ada di Indonesia, di Melayu. Kalau di Arab atau Mekah itu pakai kurma, mereka sudah ada kurma,” kata Fadly.

“Makanan khas Melayu sekali. Indonesia, Malaysia, Brunei ada ya kolak, tapi kalau dikatakan berasal dari Arab sangat tidak benar,” kata dia.

Oleh karena itu, dahulu kala, hanya satu jenis kolak yang dibuat dan dianggap sebagai ‘induk’ kolak yang paling autentik, yaitu kolak pisang dan ubi.

Pisang, ubi, santan, dan gula aren sendiri dianggap sebagai bahan-bahan makanan khas di tengah masyarakat Jawa. Bahan-bahan ini biasa disajikan saat acara selamatan atau kenduri, yang kemudian diadopsi oleh para sunan sebagai medium dakwah yang lebih mudah diterima masyarakat.

Lewat pisang, ubi, santan, dan gula aren ini-lah, semangkuk kolak berdakwah.

Buah Dakwah

Fadly menyebut, ada beberapa faktor yang membuat kolak dianggap sebagai medium dakwah. Beberapa terlihat dari penggunaan bahan baku di dalamnya yang mengandung makna tersendiri.

Di balik manisnya kolak, ada arti yang lebih mendalam bahkan punya makna religius.

Pisang kepok dikaitkan dengan kata kapok atau taubat. Sedangkan ubi dalam bahasa Jawa sering di sebut ‘telo pendem’ bermakna memendam amarah dan mengubur kesalahan.

Keduanya disatukan dengan putihnya santan yang memiliki arti memaafkan. Tambahan gula merah menjadi pemanisnya agar manusia menghilangkan segala keburukan dan saling memaafkan sambil mengingat Sang Pencipta.

Bukan cuma itu, dakwah Islam juga terkandung dari arti nama kolak.

“Pertanyaan-pertanyaan itu kalau ditelusuri tanpa mengaitkan dengan unsur Islam memang tak memiliki jawaban. Istilahnya ya gak nyambung kenapa pisang sama ubi direbus air gula, lalu dikasih santan namanya harus kolak? Tidak ada jawabannya,” kata Fadly.

Banyak cerita urban dari Tanah Jawa mengatakan bahwa kata Kolak berasal dari kata resapan ‘Khalik’ yang dalam bahasa Arab berarti ‘Tuhan’.

‘Orang muslim percaya bahwa kolak ini ada korelasinya dengan kata khaliq yang artinya sang pencipta, dan secara pelafalan memang ada kedekatan kolak dengan khalik,” kata dia.

Makanan ini diberi nama kolak agar masyarakat selalu mengingat Allah atas apa yang telah berikan-Nya.

Namun, lain ladang lain belalang, kisah lain soal sejarah kolak disebut-sebut berasal dari kata Kula yang memiliki arti perkumpulan. Nama ini diambil lantaran di dalam kolak terjadi perkumpulan aneka isian seperti pisang, ubi, kolang-kaling, dan lainnya.

Cinta si Manis

Sebagai media dakwah, kolak bisa masuk dengan mudah ke masyarakat Jawa dengan mudah.

Bahkan kolak juga bagian tak terpisahkan dari Ramadan. Cikal-bakal kecintaan terhadap kolak rupa-rupanya berawal dari ‘hobi’ orang Indonesia, khususnya masyarakat Jawa mengonsumsi makanan manis pada zaman dahulu.

Fadly menyebut masyarakat Jawa di zaman dulu suka mengolah makanan dengan gula merah dan punya kebiasaan minum teh manis.

“Jadi ya ini memang kembali ke taste mereka terhadap rasa manis. Masuk kolak karena memang Orang Jawa suka manis, lalu puasa ada sunah berbuka dengan yang manis. Jadi masuk, lah, di situ,” kata Fadly.

Kebiasaan masyarakat Jawa dengan minuman manis juga tercatat dalam sejumlah prasasti.

Historia menyebutkan ‘kilang’ sebagai salah satu minuman manis yang hadir dalam sejumlah prasasti. Kilang sendiri merupakan nama yang biasa digunakan untuk menyebut sari tebu, air gula, nira kelapa, dan aren.

Nama kilang tersemat dalam Prasasti Watukura (902 M) dan Prasasti Alasantan (939 M). Minuman satu ini disebut-sebut hampir selalu hadir dalam pesta usai upacara peresmian sima, bersamaan dengan tuak.

Ramadan dan makanan

Antropolog UNAIR Djoko Adi Prasetyo lebih lanjut, melihat secara antropologis, kebudayaan dapat berkembang dengan dipengaruhi oleh agama. Agama, jelas Djoko adalah sesuatu yang universal, final, abadi, dan tidak dapat berubah.

Oleh karena itu, agama yang dianut oleh masyarakat akan menciptakan kebiasaan-kebiasaan baru di dalam masyarakat hingga kebiasaan tersebut menjadi sebuah tradisi.

“Agama dan budaya berjalan saling mempengaruhi karena memiliki simbol dan nilai, namun agama dan budaya harus tetap dibedakan.”

Menurutnya, agama merupakan simbol nilai ketaatan manusia kepada tuhan. Sedangkan budaya merupakan simbol nilai dan norma dalam kehidupan manusia dan masyarakat.

Banyak tradisi yang terjadi di bulan Ramadan berangkat dari rasa syukur akan datangnya bulan mulia itu. Sebagai bentuk syukurnya, diwujudkan ke dalam pesta makan.

Senada dengan Djoko, Fadly juga memaparkan berbagai fakta tentang dakwah lewat makanan.

Agama dan budaya berjalan saling mempengaruhi karena memiliki simbol dan nilai, namun agama dan budaya harus tetap dibedakan.

Djoko Adi Prasetyo – Antropolog UNAIR

Fadly mengatakan, sejak dulu masyarakat Indonesia lekat dengan tradisi keagamaan seperti selamatan atau ruwatan.

Dalam dokumentasi yang direkam orang Belanda, mereka menyebut ritual selamatan masyarakat Jawa sebagai pesta makan-makan. Padahal, inti dari kegiatan selamatan adalah memanjatkan syukur kepada Tuhan yang diselingi dengan jamuan makan.

“Jadi memang tradisi selamatan ini diidentikkan oleh Orang Belanda sebagai acara makan-makan orang Jawa,” kata dia.

Tradisi ini lalu berlanjut dengan tradisi buka puasa. Kata Fadly, masyarakat Jawa punya kebiasaan berbuka puasa dengan makanan manis.