Runtai

Ci(n)ta Rasa
William Wongso

William Wongso tengah duduk menikmati waktu santainya, sambil sesekali menyesap kopi buatannya saat menyambut kedatangan kami.

“Ada yang mau kopi? Sudah pada makan? Mau kopi apa?” tanyanya kepada tim CNN Indonesia, ibarat menjamu tamu yang lama tak jumpa. Ia kemudian beranjak dari kursinya untuk membuatkan kami secangkir cafe latte panas.

Secangkir kopi ini terasa spesial. Bagaimana tidak, ini racikan sang legenda kuliner Indonesia. Secangkir kopi yang melarutkan kami lebih dalam ke dunia kuliner.

Bagi yang sudah kenal akrab, dia lebih sering disapa om Will, sementara kebanyakan orang menyapanya sebagai chef atau pak. Namun, panggilan yang paling akrab dan menyenangkan baginya tentu saja Opa dari cucu-cucu kesayangannya.

Di usianya yang ke-76 tahun, pria asli Malang yang lahir April 12, 1947 ini masih sibuk wara-wiri membuat makanan Indonesia makin populer di dunia. Dia kerap terbang dari satu sisi dunia ke ujung dunia yang lain, dengan satu misi: memperkenalkan kuliner Indonesia.

Hari itu saja, pada suatu siang di akhir Juli 2023, dia baru pulang menyelesaikan agendanya di Singapura dan Penang, Malaysia. Di Penang, ia diundang untuk food tasting masakan chef asal Portugal yang sudah tiga tahun di Thailand. Setelahnya ia singgah di Singapura dan Sydney untuk mengerjakan proyek pribadi.

Menjadi ahli kuliner Indonesia bukan hal yang kebetulan. William kecil sudah akrab menjajal berbagai masakan tradisional. Ayahnya, Soewadi Wongso, adalah fotograger Presiden Soekarno yang pada masanya sering kali mengajak William untuk mencicipi makanan dari berbagai daerah.

Sebagai salah satu dari sedikit warga negara Indonesia kelahiran China yang ikut berjuang dalam revolusi tahun 1940-an, sang ayah menyukai segala jenis makanan. Pola pikirnya sangat terbuka, termasuk urusan makanan. Sejak awal menginjakkan kaki di Indonesia, dia sudah 'siap' menikmati makanan lokal.

Sebagai fotografer lapangan, sang ayah bisa pergi ke tempat-tempat yang terlarang bagi orang lain sembali mencicipi aneka makanan khasnya. Ini membuat William kecil 'kecipratan' mencicip berbagai makanan enak. Bahkan bubur di rumahnya kala itu selalu dibubuhi saus penyedap produk Belanda berkualitas terbaik.

Lidah William sudah dimanjakan cita rasa khas sejak dini, tetapi baru pada tahun 1972 ia mulai memperkaya pengetahuan soal memasak.

Awalnya ia membuka bakeri di pusat kota di Jakarta, ketika musim membuat roti segar dari oven sedang populer. Seorang pakar roti, Wolfgang Khun, mengajarinya cara membuat roti, tapi ia ingin lebih dari itu.

“Gini. Karena saya itu orang drop out, jadi semuanya dikerjain. Kenapa mau jadi chef? Karena satu hal yang saya suka itu, saya senang berinteraksi dengan manusia,” kata William.

Tak Bisa Google Rasa

Untuk menyempurnakan keterampilan membuat roti dan pastri, pria kelahiran Malang itu menjajal peruntungannya ke Australia pada 1978. Dia lantas melanjutkannya ke Noumea, ibu kota Caledonia Baru dan berkenalan dengan pemilik bakeri Prancis, Michel Patisseries, toko pastri terbaik di sana.

Namun itu hanya permulaan. Selanjutnya, William bepergian ke Eropa dan belajar cara membuat baguette Prancis, brotchen dan bubur tepung gandum hitam yang diasamkan lewat fermentasi asal Jerman, semmel ala Swiss, focaccia dari Italia, roti wholemeal Belanda dan banyak lagi jenis roti Eropa yang khas.

“Karena saya sering di Eropa. Jadi saya belajar. Saya blusukan di mana-mana di Eropa,” katanya.

Pada awal 1980-an, setiap tahun William habiskan untuk belajar, mencicipi, serta menggali lebih dalam soal makanan dan kebudayaan. Bahkan dia keluar dari zona nyamannya sebagai seorang baker. Berbagai restoran terbaik Prancis, pusat gastronomi dunia habis dilahapnya.

Tak cuma makan, tapi dia menyerap semua rasa dan ilmu dari sepiring makanan yang disantapnya.

Kelezatan kuliner Prancis dan belahan dunia lain sempat membuainya. Namun perjalanan mencicipi rasa berbagai negara justru mencuatkan satu pertanyaan dalam dirinya: bagaimana nasib kuliner Indonesia?

Pertanyaan ini muncul setelah ia mengamati betapa negara-negara yang jadi kiblat kuliner –seperti Prancis, Italia, atau Jepang—sangat gigih dalam mempertahankan budaya kuliner dan memblokir invasi dari luar.

“Mereka membuat benteng untuk itu. Dari anak-anak, dari SD itu sudah dibalikkan lagi pengetahuan mengenai budaya kuliner lokal di mana pun anak-anak itu berada," ucapnya bersemangat.

"Nah, saya berpikir loh kok kita (Indonesia) ga pernah memerhatikan ini ya? Saya sendiri mau mencari, belajar di mana ini mengenai Indonesia? Sejak itu saya coba.”

Beruntung ia memiliki usaha sendiri sehingga bisa berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia, dan kemudian membangun jaringan pertemanan. Ia mencicipi makanananya dan menggali inti dari kuliner Indonesia.

Ia pun kemudian menemukan jawaban bahwa dasar dan kekhasan kuliner Tanah Air adalah bumbu.

“Setiap daerah itu punya kekhasan bumbu, dengan bahan-bahan yang sesuai dengan kearifan lokal yang berbeda,” katanya.

Demi mencari kuliner Indonesia seasli-aslinya, William lebih memilih untuk mencari sumber langsungnya. Sembari traveling, William menyelami tiap dapur dan makanan di tiap tempat yang dijejak kakinya.

"Kalau saya (belajar langsung) di tempatnya. Dengan ahlinya, untuk mengetahui bahan aslinya seperti apa. Setiap daerah itu punya kekhasan bumbu. Dasarnya mungkin sama, cabai, lengkuas dan lainnya. Tapi setiap daerah itu punya karakteristik cabai sendiri. Nah itu kan sudah beda rasanya,” ujar William.

Hal ini pun tak berhenti sampai di sini. Menurutnya, budaya kuliner Indonesia sendiri sudah berkembang sedemikian kompleks seiring perjalanan waktu. Belum lagi ditambah faktor tradisi, budaya, hingga kulturasi.

Ia mencontohkan, daerah Maluku yang memiliki banyak rempah, ternyata kulinernya tak banyak menggunakan rempah. Demikian pula panganan di Pulau Jawa yang disebut-sebut harus memiliki unsur manis, nyatanya tidak semua memiliki kadar manis yang sama.

Mengenal kekhasan keotentikan masing-masing daerah ini pun menjadi penting untuk belajar masak atau mengembangkan kuliner Indonesia.

“Selalu saya katakan kalau zaman sekarang itu kita bisa Google segala macam, tapi kita enggak bisa Google rasa. Sekarang gimana mau masak makanan Indonesia kalau kita sendiri saja enggak tahu rasa aslinya seperti apa, penampilannya seperti apa,” ucapnya diiringi tawa.

Hal ini pulalah yang pada akhirnya membuat William berkosentrasi dengan visi dan misi diplomasi kuliner Indonesia, termasuk pada kalangan anak muda. Menurutnya, ini upaya yang butuh ketekunan dari semua pihak, termasuk pemerintah, agar budaya yang sakral tak termakan zaman.

“Generasi nantinya itu harus berubah. Jangan nanti generasi Z ini, tahunya makan makanan yang tampangnya wah. Begitu warnanya kurang bagus, dia sudah enggak suka. Padahal itu tradisi kita. Tradisi dari orang tuanya.”

“Kalau zaman sekarang itu kita bisa Google segala macam, tapi kita enggak bisa Google rasa.”

- William Wongso -

Makanan Paling Tulus di Dunia

Beranjak dari negara ke negara untuk mencicipi kuliner lokal sampai kuliner eksotis, tak berarti dia pencinta aneka makanan fancy. Sebaliknya, dia mengaku pilihan makanannya sangat sederhana.

“Jangan salah mengartikan saya. Meskipun saya kecimpung di dunia makan, makanan saya sederhana. Saya sangat respect makanan rumahan,” kata dia sambil menikmati hidangan yang baru saja dibuatnya.

“Apapun bentuknya, sesederhana apapun, itu yang terbaik. Dan masakan rumah adalah makanan yang paling tulus,” tegas William.

Jangan salah sangka juga, meski di luaran William Wongso dikenal sebagai chef dan pakar kuliner, ternyata di rumah, dia tak melulu masak sendiri di dapur kesayangannya yang penuh dengan foto-foto keluarganya. Dapur gadget, dia menyebutnya.

Dapurnya sendiri punya dua bagian utama, dapur bersih dan kotor. Biasanya jika sedang ingin masak, dia akan memakai dapur bersihnya dan mengolah berbagai makanan yang disukainya.

Untuk membuat proses masak lebih ringkas dan cepat, dia selalu menyetok bumbu olah di dalam wadah di lemari es. Selain itu, dia juga termasuk orang yang tak suka buang-buang makanan. Jika ada makanan sisa, biasanya akan disimpan di lemari es dan diolah kembali menjadi makanan baru dengan tambahan bumbu yang ada.

“Enggak setiap hari, kalau lagi pengen saja, tapi jarang. Biasanya juga makan di luar.”

“Kalau pun beli makanan dari luar, saya biasanya minta sopir saya untuk beli makanan. Sate langganan saya biasanya. Tapi saya pasti minta mereka untuk enggak bakar satenya di sana, saya minta satenya mentah lalu saya bakar sendiri di rumah. Enggak enak kan makan sate dingin.”

Sembari melanjutkan ceritanya, William yang acap menyesap sebatang cerutu per hari ini terlihat antusias saat menceritakan cerutu favoritnya. Dulu, katanya dia cuma suka cerutu Kuba, namun saat ini yang jadi favoritnya adalah cerutu Jember.

Usai berkisah soal cerutu, dia pun kembali mengenang momen favoritnya bersama celebrity chef dunia, Gordon Ramsay.

William juga mengungkapkan syuting acara masak bersama Ramsay menjadi salah satu momen paling berkesan selama dirinya bertahun-tahun berkiprah di dunia kuliner. Ia tertawa saat menceritakan satu waktu di mana ia dan Ramsay mencoba menuruni sebuah tangga di Pagaruyung saat syuting acara tersebut.

“Itu kan, Pagaruyung tinggi. Terus dia, Gordon, berbisik ke saya, ‘William, are you 72?’. Ya, aku bilang. Aku lihat dia, ‘Yes, I am’. (Lalu dibalas Gordon) ’Let me hold your hand’,” cerita William sambil tertawa.

“Jadi saya digandeng seperti orang tua turun tangga Pagaruyung. Coba. Gordon, segitu tingginya gandeng saya seperti orang tua. Ya, saya langsung berlagak tegap berdiri seperti orang tua untuk dibantu turun tangga supaya aman,” lanjut dia.

Ruangan berpendingin udara yang terus menyala dan sayuran yang sudah dikemas dalam wadah plastik mungkin jadi tempat nyaman buat orang-orang. Namun tidak buat William. Pasar tradisional yang masih sering dipandang banyak orang sebagai tempat yang bau, kotor, dan berisik justru jadi tempat favoritnya.

“Saya keliling kemana-mana, ke seluruh dunia, pertama yang saya cari, pasar tradisional. Saya enggak cari pasar swalayan."

Buatnya, pasar tradisional lebih dari ini adalah jiwa dari kebudayaan setiap daerah, atau dapat disebut sebagai ensiklopedia kuliner hidup daerah, dengan kearifan lokal masing-masing.

“Pasar itu adalah ensiklopedi kuliner yang hidup. Banyak yang bilang pasar itu kotor. Jangan lihat ke bawah, lah. Lihat eye to eye contact kepada yang dagang di situ. Mereka itu hidupnya di situ. Dia tahu persis apa yang dia lakukan,” ucap dia.

Ia kemudian bercerita tentang para pedagang di pasar lokal yang lebih mengenal soal bahan dan bumbu, ketimbang pramusaji di swalayan yang mungkin hanya bisa menunjukkan lorong tempat bahan itu berada.

“Yang jualan bumbu (di pasar tradisional) misalnya. Mungkin dua hingga tiga generasi di situ tahu seluk-beluknya. Tahu kalau bahan ini langka dan apa substitusinya, tahu yang ini bagus dan yang ini tidak bagus,” katanya klagi.

Melalui pasar tradisional, William juga bisa lebih mengenal kebiasaan makan warga lokal yang nantinya ia sesuaikan dengan hidangan Indonesia yang dibuatnya.

Sayangnya, banyak pasar tradisional kini telah menjadi segurat gambar dalam sejarah. Tak hanya di luar negeri, menurut dia, terlalu banyak pasar tradisional di kota-kota seperti Jakarta, Medan, Surabaya, bahkan Yogyakarta yang telah lenyap dimakan zaman.

Hal ini juga menjadi salah satu alasan William Wongso menulis buku cita rasa Indonesia pada 2018 silam. Melalui buku bertajuk Cita Rasa Indonesia yang dihargai Best Cookbook of the Year itu, William berharap dapat berbagi pengetahuan tentang kuliner.

“Kalau ke pasar, saya itu kurang lebih bisa prediksi kira-kira secara ekonomis daerah ini seperti apa dari bahan yang dijual di pasar. Kamu kalau ke pasar di Jakarta aja, pasti profilnya beda-beda,” ucap William.

William percaya pasar tradisonal akan tetap eksis, meski bentuknya berubah. Ia mencontohkan salah satu pasar tradisional Shanghai yang sempat ia dokumentasikan pada 1990-an. Saat itu para pedagangnya masih memikul barang dagangan, dengan para penjaja makanan khas musim dingin menjual makanan yang segar sekali.

“Masak bahannya di situ, di sebelah sini jualan makanan, di situ motong ayam,” kata William bercerita.

“Lima belas tahun kemudian saya balik lagi ke daerah situ, enggak ada, udah hilang. Jadi bangunan-bangunan bertingkat. Terus di sana perkembangannya luar biasa. Bentuk pasar tradisional meskipun ada itu formatnya udah beda.”

“Makanya sekali lagi, kultur itu memang berubah. Tapi bagaimana kita sebagai manusia, hal-hal yang baik secara tradisi itu kalau bisa, ya jangan berubah.”

Terbit: 22 September 2023