Bukan kebetulan jika vaksin Oxford-AstraZeneca (OAZ), vaksin Covid-19 kedua dengan izin pakai darurat global, diciptakan di Institute Jenner.

Institut milik Universitas Oxford Inggris ini memang rumah untuk riset vaksin berbagai penyakit di dunia. Bahkan namanya diambil dari Dokter Edward Anthony Jenner, seorang ilmuwan asal Berkeley Glouchester yang menemukan vaksin pertama di dunia: vaksin cacar.

Pada 1976, Jenner memulai percobaannya dengan menyuntikkan cairan dari sapi yang terinfeksi cacar ke lengan seorang bocah usia sembilan tahun. Metode ini berhasil membuat sang bocah terhindar dari penularan.

Penemuan ini kemudian menjadi dasar praktik vaksinasi.

Diperkirakan lebih dari setengah miliar orang di dunia selamat dari ancaman wabah cacar sejak penemuan tersebut. WHO mengumumkan cacar berhasil dimusnahkan dari muka bumi pada tahun 1980. Oleh BBC, Jenner dimasukkan dalam daftar 100 orang Inggris paling penting di dunia.

Dalam 225 tahun sejak temuan Jenner, vaksin ditabalkan sebagai penyelamat peradaban manusia. Sejak era Jenner, sedikitnya terdapat 24 jenis penyakit yang kini bisa dicegah dengan vaksin, mulai dari tetanus sampai tipes, rubella sampai rabies.

Filsuf dan sejarawan Yuval Noah Hariri menyebutnya sebagai “pencapaian terbaik manusia dalam sejarah”. Dalam konteks pandemi Covid-19, Harari juga menasbihkan vaksin sebagai bukti kedigdayaan manusia terhadap serangan alam.

Banyak orang kemudian mengartikan jumlah korban yang sangat besar –lebih dari 4,2 juta orang meninggal akibat Covid-19 dalam satu setengah tahun terakhir—sebagai bantahan atas teori Harari. Namun, sesungguhnya 2021 justru menunjukkan manusia bukan umat lemah. Wabah bukan lagi gejala alam yang tak bisa dikendalikan. Sains mengubahnya menjadi tantangan yang bisa dihadapi.

Lalu, kenapa, masih banyak jatuh korban? Semata karena keputusan politik yang buruk.

Dalam praktiknya, pandangan Hariri terbukti benar. Setidaknya hal ini terjadi di negara-negara maju yang memiliki anggaran cukup, ilmuwan berpengalaman, serta jaringan kerja sama antarlembaga. Mereka berhasil menciptakan vaksin dalam kecepatan mengagumkan; hanya 10 bulan setelah virus Covid-19 terdeteksi.

Bandingkan dengan vaksin pertama.

Terdapat rentang 880 tahun dari semula cacar pertama kali dideteksi oleh seorang tabib Persia bernama Abū Bakr Muhammad Zakariyyā Rāzī (Ar Rhazes dalam Bahasa Barat) pada 910 masehi, hingga ketika vaksin ditemukan pada 1796.

Lini Masa
Penemuan Vaksin

dok. amhistory.si.edu
Abad ke-16

Pertama kalinya kata pembiakan bakteri untuk pencegahan penyakit terdokumentasikan di tulisan, di China. Merujuk pada cacar air.

dok. wikipedia
1796

Edward Jenner mengenalkan metode vaksinasi pertama.

dok. wikipedia
1853

Penduduk Inggris wajib mendapat vaksin cacar Air.

dok. wikipedia/Paul Nadar
1853

Louis Pasteur (Perancis) mengembangkan vaksin dari virus pertama yaitu untuk mencegah rabies.

dok. istock
1892-1898

Virus pertama ditemukan.

dok. wikipedia
1920-1926

Penemuan dan pengembangan vaksin TBC, difteri, tetanus, dan batuk rejan.

dok. wikipedia
1944

Vaksin flu ditemukan.

dok. wikipedia
1950-1960

Pertama kalinya vaksin gabungan ditemukan, yaitu vaksin DPT (difteri, pertusis/batuk rejan, dan tetanus)

dok. wikipedia
1986

Vaksin berbasis rekayasa genetika ditemukan yaitu vaksin Hepatitis B.

Di Oxford, fasilitas yang memadai membuat ilmuwan mampu fokus pada kerja utama mengembangkan vaksin.

“Kami benar-benar habis-habisan. Tanpa istirahat, (kerja) tanpa jeda 12-14 jam sehari, akhir pekan juga kerja. … Saya ingin bikin vaksin, secepatnya. Saya sendiri tidak yakin apa kami perlu melakukan semua ini. Pokoknya saya mau kami dalam posisi terbaik yang kami bisa,” kata Teresa Lambe, imunolog dan salah satu penemu kode genetik vaksin AstraZeneca.

Kepada Majalah New Scientist, Lambe mengatakan AstraZeneca bisa dikembangkan sangat cepat karena memiliki modal antisipasi dari berbagai pandemi sebelumnya.

“Tahun 2013, muncul Ebola. Susul-menyusul kemudian ada Zika, demam berdarah Krimea-Kongo, virus Nipah, virus Lassa, dan Sindrom Pernafasan Timur Tengah (MERS). Kami berusaha mengembangkan vaksin untuk penyakit-penyakit ini. Di samping itu, kami menambahkan "Penyakit X" yang belum diketahui, sebagai antisipasi jika suatu saat muncul wabah gawat,” kata Lambe.

Supaya vaksin bisa cepat dikembangkan kapan saja, Oxford memakai platform adenovirus yang dinamai ChAdOx1 (Chimpanzee Adenovirus Oxford One). Pada platform ini, virus flu biasa yang menginfeksi simpanse direkayasa menjadi bahan penyusun (building block) vaksin untuk hampir semua jenis virus.

Virus ini diubah sedemikian rupa sehingga tidak dapat menginfeksi manusia. Kemudian, dimodifikasi lagi untuk memuat cetak biru genetik apa pun guna melatih sistem kekebalan tubuh.

Platform adenovirus ini ibarat cangkang yang memuat perintah agar tubuh mengeluarkan antibodi tertentu.

Model ini kini popular dengan istilah ‘plug and play’ (colok dan pasang) dan dianggap sebagai kunci sukses percepatan pengembangan vaksin. Covid-19 adalah Penyakit X yang sudah lama diantisipasi Oxford.

Pemerintah Inggris memberikan Izin Pakai Darurat terbatas pada 30 Desember 2020 dan empat hari kemudian dosis pertama vaksin AstraZeneca disuntikkan. Sampai pertengahan Desember 2021, vaksin ini telah dipakai di lebih dari 180 negara, menjadikannya vaksin dengan peredaran terluas di dunia.

Cara Vaksin
Bekerja

Antibodi adalah sekelompok tentara yang melawan benda-benda asing yang masuk dalam tubuh seperti virus, bakteri, atau parasit. Benda-benda asing ini biasa disebut patogen.

Jika tubuh pernah mengenali patogen tertentu, maka "tentara antibodi" bisa bekerja lebih cepat dan efektif untuk memerangi mereka.

Vaksin adalah patogen (virus/bakteri) yang sudah dilemahkan/dimatikan dan kemudian dimasukkan dalam tubuh.

Tujuannya agar tubuh mengenali ciri-ciri patogen tersebut. Sehingga ketika terjadi serangan “sebenarnya” tubuh dan antibodi sudah siap.

Tubuh yang sudah disuntikkan vaksin bisa mengalahkan virus sehingga terhindar dari penyakit berat. Vaksin seolah "program" yang melatih tubuh untuk mengenali musuh-musuh.

Realita Vaksin Negara berkembang

Pandemi yang telah menewaskan jutaan juta jiwa adalah musibah. Tetapi juga ‘berkah’ bagi sains karena memberi momentum terciptanya kompetisi memproduksi vaksin, termasuk di negara berkembang.

Thailand, Singapura, Vietnam dan Indonesia kini berlomba untuk membuat vaksin pertama buatan dalam negeri.

Di Thailand, Profesor Kiat Ruxrungtham memimpin tim yang mengembangkan kandidat vaksin Covid, ChulaCov19. Vaksin itu dikembangkan di Pusat Riset Vaksin dan Obat Universitas Chulalongkorn, Bangkok. Di seluruh Thailand, hanya ada ada dua tim kandidat vaksin Covid.

Menurutnya tak masalah bahwa negara maju dan perusahaan bioteknologi bermodal kuat lebih dulu menemukan vaksin Covid yang kini dipakai miliaran orang di dunia. Baginya yang penting adalah momentum membangun kemampuan masa depan bioteknologi negaranya.

“Ini bukan soal siapa paling cepat, ini soal bagaimana kita secepatnya membangun kemampuan teknologi vaksin mRNA di Thailand dan di kawasan Asia Tenggara. Apakah hasil vaksinnya nanti sudah terlambat tidak jadi soal. Yang penting dari perjalanan seluruh proses pengembangan ini kita punya pengalaman menyiapkan diri menghadapi varian virus baru nanti – untuk vaksin mendatang, pandemi mendatang.”

Rux dan timnya di Thailand disebut-sebut sebagai pelopor platform mRNA di Asia Tenggara. Setelah mengklaim mendapat hasil baik dalam uji klinis fase 1, kini ChulaCov19 sudah memasuki uji klinis fase 2 dan ditargetkan mendapat izin pakai darurat pada kuartal dua tahun 2022.

Mengenal mRNA

  • Vaksin ini menggunakan RNA yang dimodifikasi secara genetis. Tidak menggunakan virus hidup/virus dilemahkan.

  • Di dalam vaksin RNA adalah serangkaian perintah untuk sel-sel tubuh.

  • Ketika mRNA disuntikkan ke dalam otot, sel-sel bisa memproduksi protein S yang lazim ditemukan di permukaan virus Covid-19.

  • Protein S ini membuat tubuh bisa mengenali virus Covid-19 lebih cepat, jika terinfeksi. Sehingga antibodi pun lebih mudah terbentuk.

  • Dengan menyuntikkan vaksin mRNA, tubuh bisa terhindar dari gejala berat ketika terpapar Covid-19.

  • Teknologi mRNA juga digunakan dalam penelitian pengobatan kanker. mRNA bisa memicu sistem imun dalam tubuh untuk menyerang.

Platform mRNA sebelumnya dikembangkan Pfizer-BioNTech dan Moderna, dua raksasa vaksin yang telah mendapat izin pakai global. Vaksinnya pun sukses menunjukkan efikasi tinggi terhadap virus Covid.

Platform ini dipakai tim National University Singapore yang berkongsi dengan Universitas Duke dan perusahaan biotek Arcturus Theraupetics asal AS. Tim ini mengembangkan vaksin ARCT-021 dan sedang menjalani fase 2 uji klinisnya.

Satu dari dua kandidat vaksin Covid Vietnam, Nanocovax, akhir Agustus lalu sudah menjalani uji klinis tahap 3. Melihat tahap pengembangannya yang lebih cepat dibanding kandidat lain, Nanocovax dijagokan jadi vaksin pertama di Asia Tenggara yang mendapat izin pakai darurat.

Namun selentingan yang beredar di media sosial menyebut Nanocovax gagal mendapat izin pakai darurat karena efikasinya masih “terlalu rendah”. Ini hasil yang mengejutkan mengingat uji dua fase awalnya diumumkan cukup baik.

Pada awal Desember ini, uji klinis fase 3 nanocovax sempat dihentikan karena minim relawan yang mendaftar, terutama karena sudah banyak penduduk Vietnam yang divaksin. CNN Indonesia sempat mengirimkan surel pada ketua tim pengembangannya, Dr Do Minh Si, pada September lalu, namun tidak dijawab.

Pro

Kontra

Membangun kapasitas dan kemampuan riset vaksin dan obat.

Biaya terlalu besar, lebih ekonomis beli.

Kesiagaan terhadap pandemi mendatang.

Infrastruktur yang dibangun perlu dana pemeliharaan besar.

Membangun jejaring riset global.

Selama tidak ada pandemi, infrastruktur berpotensi tidak digunakan.

Mengamankan stok vaksin Covid-19 lokal.

Saat herd-immunity sudah tercapai/masyarakat sudah vaksinasi, stok vaksin bisa terbuang.

Pro

  • Membangun kapasitas dan kemampuan riset vaksin dan obat.

  • Kesiagaan terhadap pandemi mendatang.

  • Membangun jejaring riset global.

  • Mengamankan stok vaksin Covid-19 lokal.

Kontra

  • Biaya terlalu besar, lebih ekonomis beli.

  • Infrastruktur yang dibangun perlu dana pemeliharaan besar.

  • Selama tidak ada pandemi, infrastruktur berpotensi tidak digunakan.

  • Saat herd-immunity sudah tercapai/masyarakat sudah vaksinasi, stok vaksin bisa terbuang.

Dibanding calon-calon vaksin ini, kandidat asal Indonesia, tujuh yang dimasukkan dalam konsorsium Vaksin Merah Putih (VMP), masih jauh tertinggal.

Saat bicara pada CNN Indonesia Juli lalu, Kepala Lembaga Eijkman Prof Amien Soebandrio yang merupakan salah satu anggota konsorsium mengatakan target pengembangan hingga izin edar darurat mundur menjadi Agustus tahun depan.

Tiga anggota konsorsium yang dihubungi CNN Indonesia, Eijkman, Unair maupun UI, menyatakan revisi target harus dilakukan karena persoalan yang sama: logistik.

“Pemesanan reagen merupakan kendala utama; khususnya dalam waktu yang dibutuhkan untuk penerimaan barang sejak pemesanan. Molornya antara 1,5 sd 3 bulan. Itu sangat mempengaruhi jalannya riset dan target pengembangan,” kata Budiman Bela dari Tim VMP UI.

Selain logistik, ada masalah standar lain: infrastruktur.

Hampir semua institusi yang terlibat dalam Konsorisum VMP tak punya kelengkapan laboratorium yang dibutuhkan. Fasilitas GMP (good manufacturing practice = Cara Pembuatan Obat yang Baik CPOB) mulanya cuma ada di Bio Farma, Bandung.

Agustus lalu BPOM memberikan status CPOB pada PT Biotis di Cibinong, Jawa Barat. Biotis sudah mengumumkan akan bermitra dengan UNAIR untuk proyek VMP. Pada akhir November, BPOM mengatakan vaksin yang dikembangkan UNAIR-Biotis telah selesai uji praklinik I dan II, dan akan mulai diujicobakan ke manusia. Vaksin ini ditargetkan sudah bisa digunakan pada Maret 2022.

Tetap saja, penyediaan fasilitas dasar untuk pengembangan tujuh kandidat vaksin sekaligus akan makan waktu dan, tentu saja, biaya besar.

“Animal BSL-3 (a-BSL-3) tidak ada di UI, direncanakan menyewa fasilitas a-BSL-3 dari PT Biotis dan Pusat Studi Satwa Primata (PSPP) IPB. Sementara a-BSL-3 PSSP baru bisa dipakai mulai paling cepat akhir tahun ini untuk eksperimen pada macaca. Beberapa peralatan untuk produksi vaksin berstandar GMP sedang direncanakan pemesanannya,” tambah Budiman.

Tahap
eksplorasi

Penelitian awal di laboratorium untuk mencari antigen (virus, bakteria, atau senyawa) yang bisa digunakan mencegah penyakit.

Lama: 2-4 tahun

Tahap
pra klinis

Kandidat vaksin diuji pada hewan, seperti tikus atau monyet. Tes dilakukan untuk mengetahui tingkat keamanan vaksin dan apakah memicu kekebalan tubuh.

Lama: 1-2 tahun

Tahap
klinis

Fase I

  • Tujuan

    Menguji keamanan, melihat efek samping, dan tingkat kekebalan yang bisa dihasilkan.

  • Jumlah Sampel

    Diujikan pada sekelompok kecil sukarelawan (<100)

  • Frekuensi

    Vaksin akan disuntik dua kali dengan jeda empat minggu sekali.

  • Syarat lolos uji:

    Terbentuk sistem imun, tidak ada efek samping.

  • Lama: 1-2 tahun

Fase II

  • Tujuan

    Menguji tingkat keamanan, hasil yang diiinginkan, efek samping, dosis, serta jadwal pemberian vaksin.

  • Jumlah Sampel

    Diujikan pada ratusan orang (100-300) yang terbagi ke beberapa grup, seperti anak-anak atau orang tua.

  • Frekuensi

    Ditentukan tim dokter, biasanya paling lambat tiap tujuh hari sekali harus kontrol.

  • Pemantauan

    -

  • Lama: 1-2 tahun

Fase III

  • Tujuan

    Menguji tingkat keamanan dan efektivitas.

  • Jumlah Sampel

    Diujikan pada ribuan orang (2.500-10 ribu) pada daerah dengan tingkat infeksi tinggi.

  • Frekuensi

    Relawan dibagi dua kelompok. Satu kelompok disuntik vaksin, kelompok lain mendapat plasebo (cairan non-vaksin seperti air garam).

  • Pemantauan

    Dipantau ketat oleh lembaga seperti BPOM dan pakar yang ditunjuk.

  • Lama: 2-4 tahun

Tahap
Persetujuan

Pihak berwenang mengecek data hasil uji dan pengajuan lisensi. Proses ini bisa berlangsung berbarengan dengan produksi vaksin.

Lama: 1-2 tahun

Pada situasi pandemi, vaksin bisa mendapat izin pakai terbatas sebelum mendapat persetujuan formal, atau dikenal sebagai Emergency Use Authorization (EUA)/otorisasi penggunaan darurat. EUA bukan izin edar, dan hanya dikeluarkan dalam kondisi mendesak untuk kelompok tertentu.

Tahap
Produksi

Tahap Kontrol
Kualitas

(Uji Klinis Fase 4)

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menjadi koordinator Konsorsium, LT Handoko menyadari betul hal ini. Persoalan infrastruktur riset obat dan vaksin menurut Handoko sudah diidentifikasi sejak dirinya masih mengepalai LIPI.

Kebutuhan fasilitas GMP dan a-BSL-3 macaca untuk pusat riset seperti LIPI atau universitas-universitas yang terlibat dalam konsorsium menjadi standar yang harus dipenuhi. Namun baru saat ditunjuk mengepalai BRIN, ia memiliki kewenangan dan anggaran lembaga yang memungkinkan penyediaan fasilitas tersebut.

BRIN menjanjikan pembangunan a-BSL-3 macaca dengan kapasitas 30-40 ekor, serta fasilitas purifikasi dan GMP untuk platform rekombinan protein di Cibinong. Untuk tahun kerja 2022 BRIN juga menjanjikan fasilitas yang sama untuk vaksin berbasis m-RNA dan DNA.

“Jadi sekarang saya berani memutuskan menyediakan semua itu. Yah inilah keuntungan integrasi di BRIN, kita jadi memiliki purchasing power jauh lebih besar untuk memfasilitasi semuanya. … Ini sekaligus untuk menjadi solusi permanen bagi pengembangan berbagai obat dan vaksin ke depan, baik untuk manusia maupun hewan,” tambah Handoko.

Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)

CPOB memastikan obat dibuat dengan standar mutu yang sesuai dengan tujuan dan dipersyaratkan dalam izin edar produk.

10 Persyaratan Dasar CPOB

1

Proses pembuatan obat dijabarkan dengan jelas dan sistematis

2

Semua tahapan proses divalidasi dengan kritis

3

Prosedur ditulis dalam bentuk instruksi yang jelas

4
Sarana memadai mencakup:

Personel yang terkualifikasi dan terlatih

Bangunan dan sarana dengan luas memadai

Peralatan dan sarana penunjuang yang sesuai

Bahan, wadah, dan label yang benar

Prosedur dan instruksi yang disetujui

Tempat penyimpanan dan transportasi yang memadai

5

Operator mendapat pelatihan untuk menjalankan prosedur secara benar

6

Selama proses pembuatan ada pencatatan yang menunjukkan semua langkah dilaksanakan dengan baik

7

Catatan pembuatan-distribusi sehingga riwayat batch obat bisa ditelusuri

8

Operator mendapat pelatihan untuk menjalankan prosedur secara benar

9

Selama proses pembuatan ada pencatatan yang menunjukkan semua langkah dilaksanakan dengan baik

10

Catatan pembuatan-distribusi sehingga riwayat batch obat bisa ditelusuri

Indonesia bukan satu-satunya yang punya masalah dengan kesediaan bahan dan alat. Bahkan tim Oxford harus menyelenggarakan fase praklinis di luar negeri karena tak cukup punya sumber daya.

Indra Rudiansyah, mahasiswa doktoral asal Indonesia yang menjadi anggota tim riset OAZ menceritakan bagaimana sebagian eksperimen dialihkan ke AS untuk mengatasi masalah keterbatasan hewan lab.

“... di Inggris, pilihan model hewan untuk studi pre-CT itu sangat terbatas. Inggris juga melarang non-human primate sebagai hewan model sehingga untuk studinya kita perlu kolaborasi institusi luar. Contohnya dengan NIH. Kolaborasi ini mempercepat proses development vaksinnya. Begitu data pre-CT mendukung, kita masuk ke tahap CT,” kata Indra dalam sebuah forum diskusi pengembangan vaksin secara daring.

Belakangan tim OAZ juga mengalihkan produksi vaksin dengan sistem kontrak ke sebuah perusahaan di Italia. Pilihan ini diambil berdasarkan pertimbangan praktis: meski punya pabrik sendiri di Oxford, kapasitasnya kecil, padahal tim perlu membuat vaksin dalam jumlah besar untuk proses uji klinis.

Pada saat yang sama, tahun lalu Inggris sedang menghadapi situasi lockdown ketat sehingga kebutuhan material dari luar negeri kerap terhambat. Menurut Indra Rudiansyah, keputusan membagi kerja dengan melibatkan bantuan pihak luar ini adalah satu faktor terpenting penentu keberhasilan OAZ.

It takes a village to raise a child – jadi vaksin ini tidak ditangani satu institusi tapi oleh banyak institusi. Kolaborasi ini yang sangat penting: Oxford kolaborasi dengan NIH, contract manufacturing di Italia, itu sangat membantu pengembangan vaksin OAZ,” kata Indra.

“Indonesia bisa melakukan hal yang sama kalau kita punya koneksi institusi-institusi penting seperti tadi, di mana kita kuat di sisi manufacturing-nya misalnya di Bio Farma, kita bisa menggaet developer-developer vaksin.”

Perkembangan Vaksin Negara-negara Berkembang

India

Nama Vaksin

Covaxin

(Bharat Biotech International)

Jumlah
Dosis

Uji Klinis

Tahap 3
ZyCov-D

(Zydus Cadila)

Jumlah
Dosis

Uji Klinis

Tahap 3

Vietnam

Nama Vaksin

Nanocovax

(Nanogen Pharmaceutical Biotechnology dan Universitas Medis Militer Vietnam)

Jumlah
Dosis

Uji Klinis

Tahap 3
Covivac

(Institute of Vaccines and Medical Biologicals)

Jumlah
Dosis

Uji Klinis

Tahap 2

Taiwan

Nama Vaksin

MVC-COV1901

(Medigen Vaccine Biologics Corporation, Dynavax dan National Institute of Allergy and Infectious Diseases)

Jumlah
Dosis

Uji Klinis

Tahap 2
UB-612

(United Biomedical Inc Asia)

Jumlah
Dosis

Uji Klinis

Tahap 3

Korea Selatan

Nama Vaksin

GBP510

(SK Bioscience and Coalition for Epidemic Preparedness Innovations)

Jumlah
Dosis

Uji Klinis

Tahap 2
GX-19N

(Genexine consortium)

Jumlah
Dosis

Uji Klinis

Tahap 2
GLS-5310

(GeneOne Life Science)

Jumlah
Dosis

Uji Klinis

Tahap 2

Singapura

Nama Vaksin

ARCT-021

(NUS Medical School and Arcturus Therapeutics)

Jumlah
Dosis

Uji Klinis

Tahap 2

Jepang

Nama Vaksin

DS-5670a

(Daiichi Sankyo)

Jumlah
Dosis

Uji Klinis

Tahap 2
S-268019

(Shionogi)

Jumlah
Dosis

Uji Klinis

Tahap 2
KD-414

(KM Biologics)

Jumlah
Dosis

Uji Klinis

Tahap 2
AG0301-COVID19

(AnGes)

Jumlah
Dosis

Uji Klinis

Tahap 3

Thailand

Nama Vaksin

ChulaCov-19

(Universitas Culalongkorn)

Jumlah
Dosis

Uji Klinis

Tahap 1
NDV-HXP-S

(Organisasi farmasi Thailand PATH dan Dynavax)

Jumlah
Dosis

Uji Klinis

Tahap 2

Kolaborasi juga dipakai perusahaan biotek asal Taiwan, Medigen, sebagai solusi mendapat teknologi vaksin lebih cepat.

“Awalnya kami tertarik menggunakan platform teknologi partikel mirip virus (virus-like particle VLP). Namun, untuk memulai dari awal tampaknya tidak realistis karena bahaya COVID-19 makin nyata,” kata Direktur Pengembangan Bisnis Medigen, Paul Torkehagen lewat surel kepada CNN Indonesia.

“Karena memiliki hubungan baik dengan NIH di AS dalam pengembangan vaksin demam berdarah, kami menghubungi mereka untuk minta lisensi teknologi S-2P. Dr Barney Graham dan timnya –beliau adalah peneliti terkemuka dalam studi virus corona—sudah hampir sepuluh tahun meneliti virus ini sejak pandemi MERS dulu.”

MERS, SARS, dan SARS-CoV-2 adalah ragam virus corona dengan struktur dan sifat yang mirip. Ketika lisensi didapat NIH, Medigen mengembangkan vaksin subunit dengan meneliti berbagai lini sel untuk produksi antigen COVID-19 dengan hasil bagus dan skala besar.

Awal Juli lalu vaksin Medigen sudah mendapat izin edar darurat untuk vaksinasi local di Taiwan.

“Vaksin ini tidak ditangani satu institusi tapi oleh banyak institusi, Kolaborasi ini yang sangat penting.”

Indra Rudiansyah

Yang penting diingat, kolaborasi bukan solusi instan. Butuh bertahun-tahan menjaga hubungan baik dan kerja sama antar lembaga supaya saat diperlukan bantuan dapat diminta.

Hubungan semacam ini penting untuk pabrikan obat besar dan pusat riset termuka, tetapi vital untuk institusi yang lebih kecil.

“Pusat Riset Vaksin Universitas Chulalongkorn ini kecil saja. Jadi, kolaborasi dengan dengan ahli internasional, perusahaan biotek lokal maupun global sangat, sangat penting. Hampir semuanya perlu dipupuk/disiapkan sejak awal dengan kerja sama terus-menerus jadi bisa mendorong proyek riset kita lebih cepat,” kata Ruxrungtham menjelaskan.

“Kolaborasi baru akan butuh waktu karena harus ada negosiasi, tata cara kolaborasi dan dll. Prinsip kolaborasi yang berhasil adalah kepercayaan, saling hormat, saling menguntungkan dengan hitam di atas putih yang jelas,” tambahnya lagi.

Di Indonesia, rencana kolaborasi dengan pihak asing sementara ini baru disebut-sebut tim UI.

“Khususnya dalam pengembangan vaksin protein rekombinan. Untuk pengembangan vaksin protein rekombinan ada yang sepenuhnya dirancang sendiri oleh UI, dan ada juga yang sedang diupayakan alih teknologi dari luar negeri,” kata ketua tim, Budiman Bela.

“Saat ini juga akan dilakukan pengusulan bantuan ke Jerman untuk dukungan teknologi IT laboratorium biomedik untuk kepentingan hilirisasi dari riset ke industri. Juga akan dilakukan pengusulan technical assistance dalam pengembangan vaksin mRNA ke Jerman.”

Anggaran Lagi, Lagi-lagi Anggaran

Bagi Prof Ruxrungtham, isu dana adalah hal paling menjengkelkan dari proses pengembangan vaksin. Kalau saja semua biaya yang dibutuhkan timnya untuk riset vaksin lancar, ChulaCov19 mungkin sudah jauh melewati target.

“(Kami) Tidak seperti perusahaan biotek besar yang dananya cukup dan kapasitasnya full seperti Pfizer dan Moderna. Mereka hanya butuh kurang dari 3 bulan untuk desain vaksin, praklinis hingga uji klinis. Mereka cuma butuh kurang dari 1 tahun untuk persetujuan EUA-nya. Kami sebenarnya mulai dalam waktu yang sama dengan 2 perusahaan itu, tetapi kami harus cari dana dari pemerintah dan mengumpulkan dana publik,” tulis Ruxrungtham.

Menurut Penny Heaton dari Bill & Melinda Gates Medical Research Institute, rata-rata biaya pengembangan vaksin mulai sejak riset hingga mendapat izin edar mencapai 200 sd 500 juta dollar AS (3-7 triliun rupiah).

Vaksin dengan kompleksitas tinggi seperti malaria, TBC dan HIV butuh biaya lebih banyak lagi karena komponen uji klinis yang lebih rumit.

Untuk perusahaan biotek kelas tengah seperti Medigen di Taiwan, isu biaya tak kurang memusingkannya. Jangan bandingkan dengan Pfizer atau Moderna, kata Paul Torkehagen Direktur Bisnis Medigen.

“Sebagai perbandingan lihat saja anggaran proyek pengembangan vaksin kilat yang disediakan oleh Operation Warp Speed (inisiatif pemerintah AS untuk percepatan vaksin selama pandemi) termasuk klausul Perjanjian Pembelian Lanjutan (APA)-nya. Skema yang sama bisa dilihat dari APA dan Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi Uni Eropa (CEPI),” kata Torkehagen.

Pemerintah AS menggelontorkan 18 miliar dollar AS (Rp250 triliun lebih) untuk proyek ini dengan target mendapat vaksin berkualitas secepatnya.

Farmasi raksasa seperti Moderna, Johnson & Johnson, Sanofi dan GlaxoSmithKline, juga AstraZeneca menerima dananya. Pabrikan obat Regeneron mendapat guyuran dana riset terapi antibodi monoclonal. Belakangan hari terapi ini dipakai menyembuhkan Presiden Donald Trump saat terinfeksi Covid-19.

Pendanaan Pengembangan Vaksin Covid-19

AS

2,23 miliar USD

Jerman

1,51 miliar USD

Inggris

500 juta USD

Uni Eropa

327 juta USD

Kanada

283 juta USD

Norwegia

262 juta USD

Singapura

250 juta USD

China

153 juta USD

Sumber data: Statista.com

Riset vaksin memerlukan anggaran publik besar karena pabrikan obat akan kesulitan menanggung seluruh biaya dan risiko pengembangan vaksin. Pfizer Biontech misalnya, disumbang Pemerintah Jerman 375 juta Euro (sekitar Rp6,3 triliun) supaya risetnya berjalan cepat.

Tim sebesar Oxford juga sempat mengalami situasi tak pasti karena tak punya jaminan dana.

“Mengumpulkan dana adalah pekerjaan utama saya sampai April (sejak mulai riset Januari 2021). Saya mencoba meyakinkan banyak pihak untuk ‘tolong lah, beri kami anggaran sekarang juga’,” kata Profesor Sarah Gilbert, ketua tim riset AOZ.

Menurut koran Inggris The Guardian, hampir 98% anggaran pengembangan vaksin OAZ berasal dari dana publik dari pemerintah Inggris, Uni Eropa, donasi organisasi dan perorangan. Hanya kurang dari 3% yang dibiayai oleh industri.

Jumlah yang dipakai untuk riset vaksin OAZ sejak tahun 2000 diperkirakan mencapai 228 juta poundsterling (sekitar Rp4,5 triliun).

Perusahaan bioteknologi yang mengandalkan dana sendiri atau hanya menerima dana terbatas dari pemerintah, serta tak punya kontrak pembelian untuk vaksin yang diproduksi sejak awal, akan kalah saing dalam kompetisi vaksin global.

“Riset Vaksin Merah Putih ini adalah bagian dari upaya membangun kapasitas. Nanti kalau terjadi pandemi yang lain, kita akan mampu melakukan pengembangan vaksin lebih cepat.”

Ines Atmosukarto - Mikrobiolog

Di Indonesia, dengan kebutuhan infrastruktur standar yang jauh tertinggal dari negara lain, dana jelas jadi isu utama. Meski demikian, sejauh ini belum terdengar keluhan, setidaknya yang terbuka, dari tujuh institusi yang terlibat dalam konsorsium VMP.

Sejak dimulai inisiatifnya April 2020, BRIN telah mengeluarkan Rp20 miliar rupiah untuk VMP. Tahun ini anggaran naik 10 kali lipatnya.

Tetap saja, Rp220 miliar sekali pun tampak seperti “receh” jika dibandingkan, misalnya, dengan besaran dana riset vaksin di AS atau Eropa.

Saat berhadapan dengan Komisi VII DPR, Ketua tim VMP Eijkman Profesor Amin Soebandrio mengatakan timnya telah menggunakan anggaran Rp11 miliar dan mengusulkan tambahan lebih dari Rp7 miliar. Namun sejak diajukan Januari lalu, tambahan yang diminta sempat tak cair hingga Juni.

Meski demikian, kepada CNN Indonesia, Amin menyatakannya keyakinannya pemerintah akan memenuhi komitmen mendanai pengembangan vaksin.

“Sejauh ini tidak dibatasi. Artinya, apa yang kami butuhkan ya kami usulkan sambil berjalan. Ya memang harus diakui bagaimanapun menggunakan uang negara tidak bisa seenaknya jadi semuanya harus ada proses pengajuan, proses pertanggungjawaban. Juga butuh waktu, kita minta hari ini, besok sudah tersedia uangnya. Tapi ada komitmen dari pemerintah, misal kita butuh apa kita ajukan,” Amin menjawab dalam sebuah wawancara khusus dengan CNN Indonesia.

Kepala Tim Riset VMP UNAIR, Profesor Fedik Abdul Rantam, mengatakan hal yang sama. Juli lalu tim Unair mengumumkan kemitraan dengan PT Biotis untuk produksi vaksin setelah merevisi target produksi menjadi semester pertama 2022.

Yang terpenting menurut Fedik sejauh ini dana tidak jadi hambatan besar untuk pengembangan vaksin.

“Sekarang minimal kita dapat suport psikologis walaupun dananya tidak besar. Kami percaya bahwa VMP akan segera terealisir. Kami tetap optimis sesuai time schedule walaupun dananya koret-koret ha ha..” kata Fedik sambil tertawa.

Menurut hitungan Amin Soebandrio, biaya akan membengkak seiring berjalannya uji klinis. Eijkman memperkirakan uji klinis vaksin baru berjalan pada April tahun 2022, dengan anggaran yang bisa mencapai 400 miliar rupiah.

“Itu bercermin pada uji klinis tahap ketiga yang dilakukan pada Sinovac di Bandung. Satu subjek saja membutuhkan anggaran sekitar 20 jutaan rupiah. Padahal untuk uji klinis itu kita membutuhkan sekitar minimum 5.000 subjek dan idealnya sampai dengan 20.000 subjek. Perusahaan-perusahaan besar itu uji klinisnya 40.000 sampai 50.000 subjek,’ kata Amien.

Dengan asumsi ketujuh riset untuk VMP akan sampai pada tahap uji klinis, kebutuhan biayanya mungkin akan mencapai sekitar 3,5 triliun rupiah – barangkali anggaran terbesar dalam sejarah riset Indonesia.

Kepala BRIN LT Handoko mengatakan soal anggaran sudah dipikirkan pemerintah, meski hitungannya jauh dari taksiran Eijkman.

“Dari sisi pembiayaan, anggaran yang kami alokasikan adalah termasuk untuk penyiapan berbagai fasilitas ini, serta uji pra-klinis. Sedangkan untuk uji klinis fase I-III itu juga cukup besar, tetapi saya kira Rp100 miliar akan mencukupi.”

Tahun 2022, BRIN mengusulkan anggaran sebesar 10 triliun rupiah yang dibagi dalam model kamar-kamar anggaran. Dana VMP termasuk dalam salah satu kamarnya.

“Pola anggaran kita sekarang tidak berbasis proyek (kapling anggaran per-kegiatan), di mana satu proyek membiayai semua hal dari bahan sampai infrastruktur,” kata Handoko.

“Tetapi akan berbaris rumah program seperti 3 tahun terakhir di LIPI. Ada rumah program vaksin, di mana bahan riset untuk VMP akan dibiayai. Selain itu ada rumah program infrastruktur riset, dan sebagian adalah pembangunan aneka infrastruktur untuk VMP. Jadi sudah tidak relevan untuk VMP berapa. Yang penting apapun kebutuhannya kita akan bisa penuhi.”

Di Indonesia, anggaran riset vaksin sepenuhnya dibiayai negara kecuali dalam bentuk kemitraan. Akibatnya bisa dibayangkan besarnya beban yang ditanggung pembayar pajak untuk mengongkosi proyek mahal ini – apalagi untuk tujuh riset sekaligus.

Di beberapa negara, anggaran beban ditanggung renteng oleh negara dan sektor swasta bahkan anggota masyarakat lewat lembaga amal atau donasi perorangan. Vietnam memakai metode ini untuk mengumpulkan dana publik untuk belanja vaksin sekaligus menambal kebutuhan anggaran riset vaksinnya.

Saat vaksin Moderna dinyatakan efektif untuk pemakaian manusia November tahun lalu, terungkap salah satu pendonor awal untuk risetnya di Universitas Vanderbilt adalah penyanyi country terkemuka, Dolly Parton. Dia menyumbang satu juta dollar AS (14 miliar rupiah) saat riset awal mulai dilakukan Februari tahun lalu.

Mikrobiolog dan pendiri perusahaan bioteknologi, Ines Atmosukarto, menilai kebutuhan dana yang sangat besar perlu dibantu dengan pengumpulan dana riset yang juga masif di Indonesia.

“Ini bukan cuma tugas untuk negara. Di Indonesia juga banyak keluarga sangat kaya, juga perusahaan-perusahaan besar. Kita perlu banyak donasi untuk biaya riset. Kita perlu Dolly Parton juga dari Indonesia. Mungkin Inul mau?” tulis Ines dengan menyertakan emoji tertawa saat bertukar pesan melalui aplikasi elektronik.

Di luar keterbatasan infrastruktur dan anggaran, menurut Ines proyek VMP sangat penting didorong agar selamat sesuai target. Meski jauh tertinggal dibanding kandidat vaksin negara tetangga, perkembangannya akan turut menentukan kemampuan Indonesia menghadapi situasi pandemi di asa depan.

“Itu poin utamanya, menurut saya. Riset VMP ini adalah bagian dari upaya membangun kapasitas. Nanti kalau terjadi pandemi yang lain kita akan mampu melakukan pengembangan vaksin lebih cepat,” kata Ines dari Brisbane, Australia.

Ia mengkhawatirkan mundur target penyelesaian VMP. Apalagi jika proyek ini tak berakhir dengan sukses karena akan sangat mengganggu kemampuan ahli-ahli di Indonesia untuk merespons pandemi dengan lebih cepat di masa depan.