Memoles Diri
di Ruang Demokrasi

Oleh:

Adhi Wicaksono
Please rotate your device for better experience

Setiap lima tahun sekali, rakyat Indonesia disuguhi sajian unik, menarik, tapi tak jarang pula menjengahkan.

Ya, setiap lima tahun sekali kita merayakan pesta demokrasi, ketika setiap warga negara yang telah memenuhi syarat berhak menitipkan suaranya.

Dari siklus itulah tumbuh subur bibit-bibit muda dan tentu saja lakon kawakan penyambung suara rakyat. Dari politisi calon anggota dewan hingga puncaknya calon pemimpin negara. Mereka berlomba-lomba memperkuat citra pribadi atau bahkan mengubah gambar diri jadi sesuai yang diharapkan para pemilih.

Dari mulai kegiatan keluarga yang harmonis, kunjungan ke rumah ibadah atau kegiatan religius, pertemuan dengan relawan dan pendukung, blusukan ke pasar, sawah atau daerah pinggiran.

Rangkaian kegiatan itu biasanya disertai dengan "atribut penyerta", agar memiliki makna dan citra yang mudah dikenali. Dari mulai gaya berpakaian, cara bersikap hingga raut muka.

Terkadang tujuannya hanya untuk menghibur, sementara di lain waktu untuk melibatkan, memberi informasi, atau membujuk khalayak.

Tak heran, ia perlu dikemas agar memikat masyarakat. Ruang-ruang demokrasi pun kini jadi panggung memoles citra, kesan, dan penampilan, selain performa.