Banting Harga, Starlink Bantah Tuduhan Predatory Pricing

tim | CNN Indonesia
Jumat, 31 Mei 2024 06:25 WIB
Starlink Indonesia membantah melakukan predatory pricing dan beranggapan potongan harga yang merupakan promosi produknya merupakan hal wajar.
Ilustrasi. Starlink Indonesia membantah melakukan predatory pricing dan beranggapan potongan harga yang merupakan promosi produknya merupakan hal wajar. (Foto: AFP/ODD ANDERSEN)
Jakarta, CNN Indonesia --

Bulan madu Starlink di Indonesia tak berlangsung lama. Setelah diresmikan Elon Musk di Bali beberapa waktu lalu, kini layanan internet berbasis internet itu tersandung dugaan predatory pricing.

Dugaan itu bermula setelah Starlink banting harga perangkat kerasnya dari Rp7,8 juta menjadi Rp4,6 juta sebagai promosi untuk pelanggan baru. Promo ini berlaku hingga 10 Juni.

Namun begitu, melalui kuasa hukumnya, Starlink Indonesia membantah melakukan predatory pricing. Perusahaan beranggapan potongan harga perangkat keras dari Rp7,8 juta menjadi Rp4,6 juta itu berlaku sementara waktu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sama sekali tidak ada predatory pricing. Promosi yang dilakukan Starlink hal wajar yang diperbolehkan oleh hukum," kata Senior Associate Soemaipradja & Taher, Krishna Vesa, mengutip Detik, Kamis (30/5).

ADVERTISEMENT

Starlink sebelumnya menjual perangkat kerasnya senilai Rp7.800.000, tapi mereka banting harga hingga Rp4.680.000 bagi pelanggan awal. Sementara itu, biaya bulanan berlangganan Starlink senilai Rp750.000 per bulan.

Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) merupakan salah satu pihak yang menyoroti tarif murah Starlink. Sekjen ASSI Sigit Jatipuro menilai Starlink menawarkan harga yang tidak wajar.

"Harga Starlink lebih murah dibanding pemain lokal. Contoh harga lokal yang paling murah untuk VSAT yang unlimited itu Rp3,5 juta, sedangkan harga Starlink itu Rp750.000. Bisa dihitung berapa kali perbedaan harganya," kata Sigit.

"Kemudian, harga perangkat yang paling murah di lokal itu Rp9,1 jutaan dan Starlink untuk harga promo itu Rp4,6 jutaan," lanjut dia.

Dugaan predatory pricing Starlink ini kemudian membuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) turun tangan dengan menggelar Forum Group Discussion, Rabu (29/5).

Forum tersebut melibatkan pihak-pihak terkait, mulai dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI), dan perwakilan Starlink Indonesia.

Anggota KPPU Hilman Pujana mengatakan potensi dugaan predatory pricing perlu dibuktikan lebih lanjut. Menurutnya tidak bisa dikatakan predatory pricing dengan hanya menjual produk lebih murah.

"Potensi adanya predatory pricing, dari sisi praktik di kompetisi tentunya predatory pricing ini butuh proses. Jadi, tidak hanya kita bicara orang jual lebih murah, bukan seperti itu konsepnya," kata Hilman.

"Jadi, orang pelaku usaha yang melakukan predatory pricing ini ada beberapa persyaratan untuk bisa disebut sebagai aksi dari predatory pricing," lanjut dia.

Minta bekukan izin

Sebelumnya, APJII juga mendesak pemerintah untuk membekukan izin penjualan Starlink dan meninjau pemberian lisensi pada penyedia layanan internet satelit tersebut.

Kehadiran Starlink di Indonesia menimbulkan polemik karena masih banyaknya ketidakjelasan pada layanan internet satelit tersebut, yang berdampak pada persaingan usaha dengan penyedia layanan internet lokal.

Oleh karena itu, APJII meminta pemerintah untuk sementara membekukan izin penjualan ritel Starlink.

"APJII mengusulkan pemerintah meninjau ulang lisensi Starlink serta tindakan tegas dari pemerintah untuk memperhatikan kepatuhan terhadap aturan dan kondisi yang telah ditetapkan," ujar Ketua Umum APJII Muhammad Arif dalam konferensi pers secara daring, Senin (27/5).

Salah satu yang disoroti APJII adalah perihal Network Operation Center (NOC) Starlink di Indonesia. Ketersediaan NOC di Tanah Air merupakan salah satu syarat penyelenggara jasa internet saat melakukan Uji Laik Operasi (ULO) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Sorotan pada NOC tersebut merespons pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi yang baru-baru ini mengimbau Starlink untuk membangun NOC di Indonesia, padahal layanan internet satelit tersebut telah diresmikan oleh CEO SpaceX Elon Musk.

APJII lantas merasa terjadi diskriminasi pada penyedia layanan internet (ISP) lokal yang selama ini patuh pada regulasi.

"Hal ini menimbulkan kekhawatiran APJII bahwa pemerintah telah melakukan diskriminatif dan mengabaikan peran serta kontribusi ISP lokal yang selama ini telah memenuhi standar regulasi yang ketat," kata Arif.

APJII juga menilai kehadiran Starlink sebagai layanan internet satelit bisa mematikan ISP di daerah.

"Kehadiran Starlink di daerah pedesaan berpotensi mengurangi keberagaman dan pilihan layanan bagi masyarakat setempat, dan dapat mengancam keberlangsungan ISP lokal," terangnya.

(tim/dmi)


[Gambas:Video CNN]
REKOMENDASI UNTUK ANDA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER