Rupiah Melemah dan Memori Krisis 1998

CNN Indonesia
Jumat, 28 Jun 2024 18:05 WIB
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, belakangan anjlok. Fenomena ini harus disikapi secara serius.
Anjloknya rupiah belakangan ini mengingatkan pada sejarah kelam 1998. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Anjloknya rupiah belakangan ini mengingatkan pada sejarah 1998.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira berpendapat pelemahan rupiah beberapa waktu belakangan merupakan salah satu yang terdalam sejak 1998. Namun, kondisi saat ini berbeda dengan 1998, ketika krisis ekonomi terjadi dalam waktu cukup singkat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tahun '97-'98 kan memang terjadi pelemahan rupiah yang cukup tajam dalam waktu singkat. Bedanya kalau saat ini terjadi soft landing namanya, jadi begitu dia melemah, pelemahannya itu terus saja kontinyu, tapi tidak terjadi penurunan yang tajam seketika," kata Bhima saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (27/6).

Pelemahan rupiah saat ini, kata dia, bakal semakin menambah tekanan bagi masyarakat. Bhima mengatakan sebelum rupiah anjlok, biaya hidup sudah meningkat.

ADVERTISEMENT

"Inflasi bahan makanan sudah 10 persen secara tahunan, lapangan pekerjaan semakin sulit dan imbas pelemahan rupiah, membuat biaya bahan baku naik, banyak perusahaan melakukan PHK, bahkan tutup permanen, itu sudah terlihat di industri padat karya," ujarnya.

Bhima pun mengingatkan gejolak yang terjadi pada 1998 dipicu krisis ekonomi, yang membuat ketimpangan meningkat dan menimbulkan konflik sosial di masyarakat.

"Ada beberapa indikator yang perlu diwaspadai karena kejadian tahun '98 itu bermula di sektor keuangan, terutama pelemahan rupiah menjalar ke perbankan, dan pasar keuangan lainnya," ujarnya.


Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira, berpendapat melemahnya rupiah memang perlu mendapat perhatian.

Namun, ia mengingatkan konteks yang lebih luas. Faktor eksternal seperti kebijakan moneter di negara-negara maju, ketidakpastian ekonomi global, dan kondisi geopolitik turut berpengaruh.

"Dari perspektif HIPMI, situasi ini memang menantang, namun bukan berarti harus selalu dipandang sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan. Banyak pengusaha yang justru melihat ini sebagai kesempatan untuk meningkatkan daya saing ekspor dan menggali potensi pasar domestik," ujarnya.

Menurutnya, kondisi saat ini belum bisa disebut sebagai sebagai tanda krisis seperti pada 1998. Saat itu, lanjut dia, krisis disebabkan oleh berbagai faktor struktural dan spekulatif yang sangat berbeda dengan kondisi saat ini.

"Saat ini, fondasi ekonomi Indonesia relatif lebih kuat, dengan cadangan devisa yang cukup dan kebijakan fiskal yang lebih terjaga," ujarnya.

Presiden beli kesetiaan rakyat

Sejarawan Andi Achdian berpendapat selain faktor ekonomi, krisis politik 1998 terakumulasi dari banyak hal. Mulai dari semakin tuanya Soeharto hingga kehilangan pengaruh di ABRI.

"Lingkarannya semakin mengecil, dia angkat orang-orang di sekitar untuk jadi menteri," ujar Andi.

Jika pun saat ini terjadi krisis ekonomi, kondisinya berbeda dengan 1998.

Saat ini, kondisi politik masih tetap stabil. Para elite politik mempunyai kesepakatan bersama. Belum lagi, kebijakan pemerintah yang bisa membeli 'kesetiaan' masyarakat.

"Negara masih bisa, presiden masih bisa membeli kesetiaan rakyat melalui berbagai produk seperti BLT, bansos, itu yang enggak bisa dilakuin oleh Soeharto zaman itu, ketika dia mau melakukan itu, uangnya enggak ada," katanya.

Sementara itu, Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Wildan Sena Utama mengatakan munculnya gejolak yang berujung jatuhnya Soeharto pada 1998, bukan karena faktor ekonomi satu-satunya.

Menurutnya, jatuhnya Soeharto merupakan kombinasi faktor dari otoritarianisme yang berkuasa terlalu lama dan sangat korup tanpa ada penegakan hukum yang menyeluruh.

Lalu, faktor krisis ekonomi regional Asia Tenggara yang berdampak parah di Indonesia.

"Jadi faktor ekonomi bukan satu-satunya, ada krisis politik akibat otoritarianisme Soeharto yang menggerakkan gerakan kolektif dari massa, mahasiswa dan aktivis turun ke jalan," kata Wildan.

Belum lagi, gerakan mahasiswa tidak sekuat 1998, sehingga, kondisi saat ini berbeda dengan 1998.

"Ditambah kerja sama dan gerakan mahasiswa lintas organisasi tidak sekuat dalam konteks tahun 1990-an," ujarnya.

(yoa/pmg)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
REKOMENDASI UNTUK ANDA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER